1. Matsya Awatara
Awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa
Dewanagari: मत्स्य
Ejaan Sanskerta: Matsya
Golongan: Awatara Wisnu
Dewanagari: मत्स्य
Ejaan Sanskerta: Matsya
Golongan: Awatara Wisnu
Untuk kegunaan lain dari Matsya, lihat Matsya
(disambiguasi).
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari: मत्स्य; ,IAST: matsya, मत्स्य) adalah awataraWisnubahasa Sanskerta,
kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi Hindu,
Matsya muncul pada masa Satyayuga,
pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih
dikenal sebagai MaharajaWaiwaswata Manu),
putra Wiwaswan, dewa
matahari. Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai
bencana air
bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk
segera membuat bahtera besar.
Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam
kisah Nabi Nuh, yang konon membuat bahterabesar untuk
melindungi umatnya dari bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema
yang sama juga ditemukan di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli Amerika dan
dariYunani. yang
berwujud ikan raksasa. Dalam
2. Kurma Awatara
Awatara Wisnu
yang berwujud kura-kura
Dewanagari: कुर्म
Ejaan Sanskerta: Kurma
Nama lain: Akupa
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: Cakram dan Gada
yang berwujud kura-kura
Dewanagari: कुर्म
Ejaan Sanskerta: Kurma
Nama lain: Akupa
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: Cakram dan Gada
Dalam agama Hindu, Kurma (Sansekerta: कुर्म; Kurma)
adalah awatara (penjelmaan)
kedua dewaWisnukura-kura raksasa.
Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut
kitab Adiparwa,
kura-kura tersebut bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud
seekor kura-kura (kurma)
dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar
laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat
membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba
mendapatkannya. Untuk mangaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan
sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung
tersebut dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar
gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak
gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta
berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil
alih. yang berwujud Kurma juga nama dari seorang resi, putra Gretsamada.
3. Waraha awatara
Awatara Wisnu
yang berwujud babi hutan
Dewanagari: वाराह
Ejaan Sanskerta: Varāha
Nama lain: Bhuwaraghan; Waraghan; Warha (baca selengkapnya di bawah)
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: Cakram dan Gada
Pasangan: Pertiwi
yang berwujud babi hutan
Dewanagari: वाराह
Ejaan Sanskerta: Varāha
Nama lain: Bhuwaraghan; Waraghan; Warha (baca selengkapnya di bawah)
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: Cakram dan Gada
Pasangan: Pertiwi
Waraha (Sanskerta: वाराह; Varāha)
adalah awatara (penjelmaan)
ketiga dari Dewa Wisnu yang
berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada
masa Satyayuga (zaman
kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam
kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
Menurut mitologi
Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman
kebenaran), ada seorang raksasa bernamaHiranyaksa, adik
raksasa Hiranyakasipu.
Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa).
Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi)
ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi
babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi
yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak
berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran
sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan
Dewa Wisnu. Konon
pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun
pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang
menang
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau
mengangkat bumi yang
bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan
kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya.
Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi
Dewi Pertiwi dalam
wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang
membawa planet bumi dengan kedua
taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala
dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga
bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit
kerang (sangkakala), teratai, dan gada.
4. Narasinga ( Narasimha ) Awatara
Awatara Wisnu
yang berwujud manusia berkepala singa
Dewanagari: नरसिंह
Ejaan Sanskerta: Nārasiṃha
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: cakram, gada, pedang, panah
Dewanagari: नरसिंह
Ejaan Sanskerta: Nārasiṃha
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: cakram, gada, pedang, panah
Narasinga (Devanagari: नरसिंह ; disebut
juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah awataraWisnu yang turun ke
dunia, berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak
tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir
zaman Satyayuga (zaman
kebenaran), seorang rajaasuraHiranyakasipu membenci
segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di
kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu,
adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh
oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan
hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma
berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar
ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun
Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya
Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan
ataupundewa, tidak bisa
dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air,
api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan
tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut,
Dewa Brahma mengabulkannya.
Sementara ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah,
para dewa yang
dipimpin oleh DewaIndra,
menyerbu rumahnya. Narada datang
untuk menyelamatkan istri Hiranyakasipu yang
tak berdosa, bernama Lilawati.
Saat Lilawati meninggalkan rumah, anaknya lahir dan diberi namaPrahlada. Anak itu dididik
oleh Narada untuk
menjadi anak yang budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri
dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya. (inkarnasi/penjelmaan) pelindung
yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya. (raksasa) yang
bernama Narasinga membunuh Hiranyakashipu
5. Wamana Awatara
Awatara Wisnu
yang berwujud orang kerdil
Dewanagari: वामन
Ejaan Sanskerta: Vāmana
Nama lain: Upendra
Golongan: Awatara Wisnu
yang berwujud orang kerdil
Dewanagari: वामन
Ejaan Sanskerta: Vāmana
Nama lain: Upendra
Golongan: Awatara Wisnu
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana)
adalah awatara Wisnu yang kelima, turun
pada masa Tretayuga,
sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna
menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorangAsura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah
merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun
tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara
dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana
Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia
lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil.
Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."
Kisah Wamana Awatara
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana.
Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana
Raja Bali karena
pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk
diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar
tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang aneh dan
lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul
di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga akan
diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang
diukur dengan langkah kakinya. RajaBali pun takabur dan
melupakan nasihat Sukracarya.
Ia menyuruh Brahmana kecil itu melangkah.
Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut
membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu
melangkah di surga dan bumi sekaligus. Pada langkah yang pertama, ia menginjak
surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga,
karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya.
Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali,
Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan
menjadi Indra pada Manwantara berikutnya.
6. Parasurama Awatara
Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni, seorang resi keturunan Bregu.
Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir
Jamadagni memberi nama putranya itu Rama. Setelah dewasa, Rama pun
terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai
senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur
panah yang besar luar biasa.
Sewaktu muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri, yang
bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani
kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian
memerintahkan putra-putranya supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia
menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan mereka. Meskipun demikian,
sebagai seorang anak, putra-putra Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang
bersedia melakukannya. Jamadagni semakin marah dan mengutuk mereka menjadi
batu.
Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata
bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan
permintaan sesuai janji Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni
harus menghidupkan dan menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya
ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan
Parasurama.
7. Rama Awatara
Asal- usul nama "Rama"
Rāmá dalam kitab Regweda dan Atharwaweda adalah
kata sifat yang berarti "gelap, hitam", atau kata benda
yang berarti "kegelapan", bentuk feminim dari kata sifat tersebut
adalah rāmī. Dua Rama muncul dalam pustaka Weda, dengan nama keluarga
Mārgaweya dan Aupataswini; Rama yang lain muncul dengan nama keluarga
Jāmadagnya yang dianggap sebagai penulis himne Regweda. Menurut Monier-Williams,
tiga Rama dihormati pasca masa Weda, yaitu:
Parashu-rāma ("Rama
besenjata kapak"), awatara Wisnu yang keenam,
kadangkala dianggap sebagai Jāmadagnya, atau sebagai Bhārgawa Rāma
(keturunan Bregu),
seorang "Chiranjiwin"
atau makhluk abadi.
Bala-rāma ("Rama
yang kuat"), juga disebut Halāyudha (bersenjata bajak saat bertempur),
kakak sekaligus teman dekat Kresna, awatara Wisnu yang kedelapan.
Dalam Wisnu
sahasranama, Rama adalah nama lain Wisnu yang ke-394. Dalam
interpretasi dari komentar Adi
Sankara, yang diterjemahkan oleh Swami
Tapasyananda dari Misi
Ramakrishna, Rama memiliki dua pengertian: 1) Brahman yang maha kuasa
yang menganugerahkan para yogi;
2) Ia (Wisnu) yang
meninggalkan kahyangan untuk menitis kepada Rama, putera Dasarata.
Sumber literatur
Sumber utama mengenai kehidupan dan perjalanan Rama
adalah wiracarita Ramayana yang disusunResiWalmiki. Namun, sastra lain
dalam bahasa
Sanskerta juga merefleksikan riwayat dalam Ramayana. Sebagai
contoh, Wisnupurana juga
menceritakan Rama sebagai awatara Wisnu yang ketujuh dan
dalam Bayupurana,
seorang Rama disebut di antara tujuh Resi dari Manwantara ke-8. Dan
juga kisah Rama disebut dalam wiracarita lainnya, yaitu Mahabharata. Versi lain
yang penting dan lebih pendek adalah Ādhyātma Ramayana. Ramayana memiliki
berbagai versi di sepanjang wilayahIndia. Sebagai contoh, versi
sederhana Ramayana yang menceritakan kehidupan dan filsafat ketuhanan Rama
dituangkan dalam sajak kepahlawanan berjudul Kambaramayanam pada abad ke-12oleh penyair
Kamban dalam bahasa
Tamil, dan Ramacharitamanasa,
Ramayana versi bahasa
Hindipada abad
ke-16 oleh penyair Tulsidas. Berbagai versi
yang berbeda juga ada dan muncul dalam bahasa-bahasa terkemuka di India.
Ramayana versi kontemporer meliputi Shri Ramayana Darshanamoleh Dr. K. V.
Puttappa dalam bahasa
Kannada, dan Ramayana Kalpavrikshamu oleh Viswanatha
Satyanarayana dalam bahasa Telugu, yang
mana keduanya memperoleh penghargaan dalamJnanpith
Award. Wiracarita Ramayana tersebar di berbagai wilayah India, dan
menonjolkan keunikan budaya masing-masing daerah.
Kisah Rama juga menyebar ke wilayah Asia Tenggara, dan
diadaptasikan dengan kebudayaan, cerita
rakyat, dan kepercayaan masyarakat setempat. Kakawin
Rāmāyana dari Jawa (Indonesia),Ramakawaca dari Bali, Hikayat Seri Rama dari Malaysia, Maradia
Lawana dari Filipina, Ramakien dariThailand (yang
menyebut Rama sebagai Phra Ram) merupakan karya-karya besar yang unik dan
mengandung berbagai versi berbeda mengenai kehidupan Rama. Legenda mengenai
Rama dapat disaksikan dalam ukiran di kuil Wat Phra KaewBangkok. Wiracarita nasional Myanmar, Yama
Zatdawsebenarnya merupakan Ramayana versi Myanmar, dimana Rama dipanggil
Yama. Dalam Reamkerdari Kamboja, Rama dikenal
sebagai Preah Ream. di
8. Krisna Awatara
Tuhan Yang Mahakuasa dalam sekte Gaudiya Waisnawa.
Dewanagari: कृष्ण
Ejaan Sanskerta: kṛṣṇa
Nama lain: Acyuta; Basudewa; Bagawan; Gopala; Gowinda; Hari; Kesawa; Madawa; Narayana; Wisnu;dan lain-lain.
Golongan: Dewa,
Awatara Wisnu
Kediaman: Masa kecil: Gokul, Vrindavan
Masa remaja: Mathura
Dewasa:Kerajaan Dwaraka
Mantra: ॐ नमो भगवते वासुदेवाय
Om Namo Bhagavate Vāsudevāya
Senjata: Cakra Sudarsana
Pasangan: Radha, Rukmini,
Satyabama , Jambawati,
dan 16.104 istri lainnya
Wahana: Garuda
Dewanagari: कृष्ण
Ejaan Sanskerta: kṛṣṇa
Nama lain: Acyuta; Basudewa; Bagawan; Gopala; Gowinda; Hari; Kesawa; Madawa; Narayana; Wisnu;dan lain-lain.
Golongan: Dewa,
Awatara Wisnu
Kediaman: Masa kecil: Gokul, Vrindavan
Masa remaja: Mathura
Dewasa:Kerajaan Dwaraka
Mantra: ॐ नमो भगवते वासुदेवाय
Om Namo Bhagavate Vāsudevāya
Senjata: Cakra Sudarsana
Pasangan: Radha, Rukmini,
Satyabama , Jambawati,
dan 16.104 istri lainnya
Wahana: Garuda
Kresna (Dewanagari: कृष्ण; ,IAST: kṛṣṇa,; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah
salah satu dewa yang
dipuja olehumatHindu, berwujud pria
berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi
bulu merak.
Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan
sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping.
Legenda Hindu dalam kitab Purana danMahabharata menyatakan
bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki dari kerajaan Surasena,
kerajaan mitologis di India
Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi)Dewa Wisnu kedelapan di
antara sepuluh
awatara Wisnu. Dalam beberapa sekte Hindu, misalnyaGaudiya Waisnawa,
ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan
itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna,
misalnyaBhagawatapurana,
ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda
yang mahir bermain seruling,
sedangkan dalamwiracarita Mahabharata ia
dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu
ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu
meyakiniBhagawadgita sebagai
kitab yang memuat kotbah Kresna
kepada Arjuna tentang
ilmu rohani.
Kisah-kisah mengenai Kresna muncul secara luas di berbagai
ruang lingkup agama Hindu, baik dalam tradisi filosofis maupun teologis.
Berbagai tradisi menggambarkannya dalam berbagai sudut pandang: sebagai dewa
kanak-kanak, tukang kelakar, pahlawan sakti, dan Yang Mahakuasa. Kehidupan
Kresna dibahas dalam beberapa susastra Hindu,
yaitu Mahabharata, Hariwangsa,Bhagawatapurana,
dan Wisnupurana.
Pemujaan terhadap dewa atau
pahlawan yang disebut Kresna—dalam wujud Basudewa, Balakresnaatau Gopala—dapat ditelusuri sampai
awal abad ke-4 SM.
Pemujaan Kresna sebagai Swayam Bhagawan,
atau Tuhan Yang Mahakuasa, yang dikenal sebagai Kresnaisme, muncul pada
Abad Pertengahan dalam situasi Gerakan Bhakti.
Dari abad ke-10 M, Kresna menjadi subjek
favorit dalam seni pertunjukan. Tradisi pemujaan di masing-masing daerah
mengembangkan berbagai macam wujud/aspek Kresna seperti JagadnataOrissa, Witoba di Maharashtra dan Shrinathji di Rajasthan. Sekte Gaudiya Waisnawa yang
terpusat pada pemujaan kepada Kresna didirikan pada abad ke-16, dan sejak
tahun 1960-an juga
telah menyebar di Dunia
Barat, sebagian besar disebabkan oleh organisasi Masyarakat
Internasional Kesadaran KresnaInternational Society for Krishna
Consciousness - ISKCON).
Dalam aksara Dewanagari, kṛṣṇa ditulis कृष्ण (dibaca [ˈkr̩ʂɳə]).
Dalam aksara Jawa dan Bali, huruf vokalृAlfabet
Fonetis Internasional: [r̩ ]*) tersebut
dialihaksarakan sebagai Pa cerek (Bali: Ra repa) yang melambangkan
bunyi /rə/ daripada /r̩/ (ditulis dengan huruf Latin
"Re"), karena bunyi /r̩/tidak terdapat dalam bahasa Jawa dan Bali. Maka dari itu
kata कृष्ण dialihaksarakan
menjadi "Kresna" (dibaca [ˈkrəsna]).
Kata kṛṣṇa dalam bahasa Sanskerta pada
dasarnya merupakan kata
sifat yang berarti "hitam", "gelap" atau
"biru tua". Kata tersebut berhubungan dengan kata čьrnъ (crn,
'hitam') dalam rumpun bahasa
Slavia. Sebagai kata benda feminin, kata kṛṣṇā digunakan dengan
makna "malam, hitam, kegelapan" dalam kitab suci Regweda, dan sebagai iblis
atau jiwa kegelapan dalam mandala
(bab)IV Regweda.
Untuk nama
diri, kata Kṛṣṇa muncul dalam mandala VIII sebagai nama
seorang penyair.
Sebagai salah satu nama Wisnu,
kata "Kṛṣṇa" terdaftar sebagai nama ke-57 dalam kitab Wisnu
Sahasranama (Seribu Nama Wisnu). Berdasarkan nama tersebut, Kresna
seringkali digambarkan dalam arca dengan
kulit hitam maupun biru.
Kresna juga dikenal dengan berbagai macam nama,
julukan, dan gelar, yang mencerminkan berbagai atribut dan hal-hal yang
berkaitan dengannya. Dalam kitab Mahabarata dan Bhagawadgita, Kresna
disebut dengan berbagai nama, sesuai karakteristiknya. Beberapa nama tersebut
diantaranya: Acyuta (yang
kekal; teguh); Arisudana (penghancur musuh); Bagawan (Yang
Mahakuasa); Gopala (pelindung
sapi); GowindaHresikesa (penguasa
indria); Janardana (juru selamat umat manusia); Kesawa (yang berambut
indah); Kesinisudana (pembunuh raksasa Kesi); Madawa(suami dewi keberuntungan); Madusudana (pembunuh
raksasa Madhu); Mahabahu (yang berlengan
perkasa); Mahayogi (rohaniwan agung); Purusottama (manusia
utama, yang berkepribadian paling baik); Warsneya (keturunan Wresni); Basudewa; Wisnu; Yadawa (keturunan Yadu); Yogeswara(penguasa
segala kekuatan batin).
Di antara berbagai namanya, yang terkenal adalah Gowinda, "penggembala
sapi", atau Gopala, "pelindung para sapi", merujuk kepada
pengalaman masa kecil Kresna di Braj.
Beberapa nama lainnya dianggap penting bagi wilayah tertentu; misalnya, Jagatnata (penguasa
alam semesta), terkenal di Puri,
India Timur. di ( ( (penggembala sapi);
* Baladewa ( Balaram )
Baladewa sebenarnya merupakan Kakak kandung Kresna karena terlahir
sebagai putera Wasudewa dan Dewaki. Namun karena
takdirnya untuk tidak mati di tangan Kamsa, ia dilahirkan
oleh Rohini atas
peristiwa pemindahan janin.
Kamsa, Kakak dari Dewaki, takut akan ramalan yang mengatakan
bahwa ia akan terbunuh di tangan putera kedelapan Dewaki. Maka dari itu ia
menjebloskan Dewaki beserta suaminya ke penjara dan membunuh setiap putera yang
dilahirkan oleh Dewaki. Secara berturut-turut, setiap puteranya yang baru lahir
mati di tangan Kamsa. Pada saat Dewaki mengandung puteranya yang ketujuh, nasib
anaknya yang akan dilahirkan tidak akan sama dengan nasib keenam anaknya
terdahulu. Janin yang dikandungnya secara ajaib berpindah kepada Rohini yang
sedang menginginkan seorang putera. Maka dari itu, Baladewa disebut pula
Sankarsana yang berarti "pemindahan janin".
Akhirnya, Rohini menyambut Baladewa sebagai puteranya. Pada
masa kecilnya, ia bernama Rama. Namun karena kekuatannya yang menakjubkan, ia
disebut Balarama (Rama yang kuat) atau Baladewa. Baladewa menghabiskan masa
kanak-kanaknya sebagai seorang pengembala sapi bersama Kresna dan
teman-temannya. Ia menikah dengan Reawati,
puteri Raiwata dari Anarta.
Baladewa mengajari Bima dan Duryodana menggunakan
senjata Gada.
Dalam perang
di Kurukshetra, Baladewa bersikap netral. Seperti kerajaan Widarbha dan
Raja Rukmi, ia tidak
memihak Pandawa maupun Korawa. Namun, ketika Bima
hendak membunuh Duryodana,
ia mengancam akan membunuh Bima. Hal itu dapat dicegah oleh Kresna dengan
menyadarkan kembali Baladewa bahwa Bima membunuh Duryodana adalah sebuah
kewajiban untuk memenuhi sumpahnya. Selain itu, Kresna mengingatkan Baladewa
akan segala prilaku buruk Duryodana.
9. Gautama Buddha Awatara
Menurut kepercayaan Hindu populer, pada zaman Kaliyuga, masyarakat
menjadi bodoh akan nilai-nilai rohani dan kehidupan. Ada suatu kepercayaan
bahwa pada kedatangan Sang Buddha, banyak brahmana di India yang
menyalahgunakan upacara Weda demi
kepuasan nafsunya sendiri, dan melakukan pengorbanan binatang yang sia-sia dan
tiada berguna. Maka dari itu, Buddha muncul sebagai seorang awatara untuk
memulihkan keseimbangan.
Gautama Buddha lahir sebagai Pangeran Siddhartha Gautama,
putra Raja Suddhodana,
sekitar abad ketujuh sebelum Masehi (2400 tahun yang lalu). Ayahnya sangat menginginkan
dia menjadi Maharaja Dunia, namun pikirannya dibayang-bayangi oleh ramalan
petapa Kondanna yang mengatakan bahwa anaknya akan menjadi Buddha karena
melihat empat hal: orang sakit, orang tua, orang mati, dan pertapa. Keempat hal
tersebut selalu berusaha ditutupi olah ayahnya. Ia tidak akan membiarkan
sesuatu yang bersifat sakit, tua, mati, dan pertapa suci dilihat oleh
Siddhartha.
Namun Siddhartha memang sudah ditakdirkan untuk menjadi
Buddha. Ramalan pertapa Kondanna menjadi kenyataan. Keinginan Siddhartha untuk
mendapat pencerahan (yang mengantarnya menjadi Buddha) terlintas ketika ia
melihat empat hal tersebut. Pikirannya terbuka untuk mencari obat penawar
sakit, tua, dan mati. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pertapa dan
berkeliling mencari pertapa-pertapa terkenal dan mengikuti ajaran mereka, namun
semuanya tidak membuat Siddhartha puas. Akhirnya ia menemukan pencerahan ketika
bertapa di bawah Pohon
bodhi di Bodh
Gaya pada malam Purnama Sidhi bulan Waisak
10. Kalki Awatara
Awatara Wisnu yang menegakkan kebenaran
pada akhir zaman kegelapan
Dewanagari: कल्कि
Ejaan Sanskerta: Kalki
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: Pedang
Wahana: Kuda putih
Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (Sanskerta: कल्कि; Jepang: カルキ)
(juga disalin sebagai Kalkin danKalaki) adalah awatara kesepuluh
dan awatara (inkarnasi)
terakhir Dewa Wisnu Sang
pemelihara, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman
kegelapan dan kehancuran).
Etimologi
Kata Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari
“keabadian” atau “masa”. Asal mula nama tersebut diperkirakan berasal dari
kata Kalka yang bermakna “kotor”, “busuk”, atau “jahat” dan oleh
karena itu "Kalki" berarti “Penghancur kejahatan”, “Penghancur
kekacauan”, "Penghancur kegelapan", atau “Sang Pembasmi Kebodohan”.
Dalam bahasa Hindi, kalki
avatar berarti “inkarnasi hari esok”.
Apa yang akan Kalki lakukan?
Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran
mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul.
Penggambaran yang umum mengenai Kalki Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang
mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya “Devadatta”
(anugerah Dewa) dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang
berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan
iblis Kali,
kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman
yang baru.
Ramalan tentang Kalki
Salah satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah
Kalki adalah Wisnu
Purana, yang diduga muncul setelah masa Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7
sebelum Masehi. Wisnu
adalah Dewa pemelihara dan pelindung, salah satu bagian Trimurti, dan merupakan
penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran sesuatu. Kalki juga
muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang utama, Agni
Purana. Kitab purana yang memuat khusus tentang Kalki adalahKalki
Purana. Di sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul.
Sumber Terkait : di sini
Tidak ada komentar:
Write komentar